Industri berbasis tebu di Indonesia, yang hadir sejak ratusan tahun silam, kini menghadapi tantangan perubahan. Kita pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada 1930-an. Produsen gula utama seperti Brazil, India, atau Thailand, dulu berada di bawah Indonesia. Tapi kini, negara-negara itu melampaui Indonesia.
Tak bisa lagi industri ini hanya menjalankan bisnis secara biasa-biasa saja (business as usual). Harus ada imajinasi baru untuk mengantarkan industri padat karya ini ke gerbang kejayaannya. Kita ketahui bersama, industri tebu berperan penting menyangga kehidupan jutaan petani, pengemudi angkutan, karyawan pabrik, tenaga tebang, hingga penyedia sarana penunjang pertanian.
Industri ini mempunyai dampak pengganda ke ekonomi lokal, terutama di wilayah perdesaan. Karena itulah, membangun kejayaan industri ini berarti juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Strategi Terpadu
Industri ini pada 2012 memproduksi gula sebagai produk utama sekitar 2,6 juta ton. Angka tersebut sejatinya di bawah target pemerintah. Meski demikian, angka 2,6 juta ton itu patut disyukuri karena produksi gula dalam beberapa tahun terakhir ini jarang menembus angka 2,5 juta ton.
Lantas bagaimana prospek pencapaian swasembada gula nasional pada 2014? Sekian tahun lamanya, produktivitas industri ini stagnan. Padahal, di sisi lain, konsumsi gula terus meningkat mengikuti pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk.
Kini, kita tak bisa lagi hanya bicara peningkatan produktivitas semata. Swasembada gula jangan hanya dibatasi dalam konteks pemenuhan produksi gula, tapi bagaimana ikhtiar kita membangun industri berbasis tebu (sugarcane based industry) yang terintegrasi.
Membangun industri berbasis tebu hanya fokus ke pendekatan produksi gula, sesungguhnya kita hanya sedang membawa industri ini jalan di tempat, karena tak ada nilai tambah berarti. Kita tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang besar jika tak mempunyai pikiran besar.
Diperlukan strategi terpadu berupa efisiensi, optimalisasi dan diversifikasi agar industri ini bisa memberi nilai tambah optimal bagi perekonomian nasional. Dalam hal ini, diversifikasi harus menjadi kata kunci.
Diversifikasi
Diversifikasi hanya bisa dilakukan jika efisiensi dan optimalisasi sektor budidaya (on-farm) dan pengolahan pabrik (off-farm) sudah berjalan baik untuk meningkatkan produksi gula guna mencapai swasembada. Artinya, diversifikasi sama sekali tidak mengganggu misi utama pencapaian swasembada gula. Tanpa efisiensi dan optimalisasi, diversifikasi tak bisa dilakukan karena hilirisasi membutuhkan ketersediaan pasokan tebu dan kinerja mesin yang prima.
Mengapa diversifikasi harus dilakukan? Sebagai komoditas yang highly-regulated, industri tebu bersifat kompleks. Di satu sisi, biaya produksi gula terus menanjak seiring kenaikan harga tebu dari petani dan peningkatan upah. Di sisi lain, harga gula tak bisa dibentuk pada level yang menjanjikan margin memadai, karena faktor daya beli konsumen dan intervensi pemerintah.
Hal itu membuat margin pengusahaan gula tidak mencukupi mendukung upaya memperluas lahan maupun membangun pabrik baru. Kondisi serupa juga dialami oleh negara-negara produsen gula di dunia, sehingga di banyak negara, diversifikasi menjadi hal yang sangat diprioritaskan. Dari sisi manajemen risiko, diversifikasi juga bermanfaat mengurangi risiko produksi dalam rangka pengusahaan tebu secara menyeluruh.
Tebu tidak hanya bisa diolah menjadi gula, tapi juga berbagai produk lain yang punya nilai ekonomi tinggi. Selain bisa menghasilkan gula dalam jumlah optimal, di industri berbasis tebu modern, setiap satu ton tebu bisa memproduksi listrik 100 kilowatt yang bersumber dari ampas tebu (program cogeneration); 12 liter bioetanol dari tetes tebu dan 40 kilogram biokompos dari limbah padat tebu. Limbah bioetanol bahkan juga bisa kembali diolah menjadi listrik. Itu belum termasuk produk hilir lainnya yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Sayangnya, di Indonesia diversifikasi belum menjadi perhatian serius. Memang banyak industri koproduk tebu, namun mayoritas dimiliki perusahaan yang sama sekali tak bergerak di bisnis pengolahan tebu. Industri tebu hanya menjual bahan olahannya tanpa bisa mendapat nilai tambah yang optimal.
Secara nasional, berdasarkan kajian tim independen, dengan lahan sekitar 473 ribu hektar dan potensi 38 juta ton tebu, potensi bisnis dari diversifikasi yang bisa diperoleh adalah surplus power sebesar 3.800 GWH, bioetanol 460.000 kiloliter, dan biokompos 1,5 juta ton.
Dengan mengambil contoh pada 33 pabrik gula di Indonesia yang dikategorikan berteknologi ”usang”, investasi yang dikeluarkan untuk mengoptimalkan potensi diversifikasi adalah US$ 1,585 miliar dengan potensi penerimaan US$ 260,5 juta per tahun, sehingga pay back period selama enam tahun.
Potensi Diversifikasi
Berdasarkan kajian di lingkungan PTPN X yang saya pimpin, potensi pendapatan diversifikasi bisnis (bioetanol, listrik, biokompos) Rp 1,7 triliun. Payback period selama 3 tahun – 5 tahun. Potensi pendapatan yang besar ini bisa dikelola untuk ekspansi sektor on-farm dan off-farm, sehingga bisa menopang peningkatan produksi gula sebagai komoditas pangan bagi masyarakat. Bisa dikatakan, dengan diversifikasi kita juga membuka jalan bagi peningkatan produksi gula untuk mencapai swasembada.
Brazil adalah contoh negara yang sukses mengoptimalkan produk turunan tebu dengan bertransformasi dari negara yang mengimpor hampir 80% kebutuhan minyaknya menjadi pelopor pemakaian energi terbarukan. Industri berbasis tebu menyumbang sekitar 18% dari total kebutuhan energi di Brazil.
Untuk bisa melakukan diversifikasi produk tersebut, syarat utama adalah membangun agribisnis tebu dengan memadukan kecanggihan sektor industri yang berdaya saing dan sektor pertanian yang tangguh. Spirit diversifikasi dan energi terbarukan harus menjadi semangat nasional agar potensi ekonomi tebu bisa dimaksimalkan untuk menopang kebutuhan energi nasional dan menyejahterakan masyarakat. (*)
Subiyono
Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi),
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero)
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/41639/Mewujudkan-Industri-Berbasis-Tebu-Modern